Penolakan Omnibus Law RUU Cipta Kerja Terus Digaungkan

admin@radarindonesiaonline.com
13 Okt 2020 09:35
Peristiwa 0 46
3 menit membaca

BANTEN – RI, Dengan demikian, dalam konteks Omnibus Law RUU Cipta Kerja, maka dapat diartikan sebagai bentuk ”satu Undang-undang yang mengatur banyak hal”, yang mana ada 79 UU dengan 1.244 pasal yang akan dirampingkan ke dalam 15 bab dan 174 pasal dan menyasar 11 klaster di Undang-undang yang baru.

Omnibus Law RUU Cipta Kerja, merupakan upaya penciptaan kerja melalui Usaha Kemudahan, Perlindungan, dan Pemberdayaan, Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah Peningkatan Ekosistem Investasi dan kemudahan berusaha, dan Investasi Pemerintah Pusat dan Percepatan Proyek Strategis Nasional. UU Cipta Kerja bertujuan untuk menciptakan lapangan kerja yang seluas-luasnya bagi Rakyat Indonesia secara merata. Banyak UU yang tumpang tindih di Indonesia membuat Pemerintah mencoba menyelesaikannya dengan Omnibus Law, salah satunya Ketenagakerjaan. Setelah disahkan oleh DPR, UU Cipta Kerja akan merevisi isi sejumlah pasal di UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.

Lalu kenapa banyak penolakan ?

Banyak pasal yang dipersoalkan terutama oleh Serikat Buruh akan adanya RUU ini yang dinilai mengancam Hak Asasi Manusia (HAM). Salah satunya Pesangon Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang dikurangi menjadi 25 kali upah dari sebelumnya 32 kali upah. RUU Cipta Kerja juga menghapus ketentuan UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa perjanjian waktu kerja tidak tertentu apabila tidak dibuat dalam perjanjian tertulis.

Pasal-pasal tersebut berpotensi menimbulkan pelanggaran HAM, karena akan memberikan lebih banyak ruang bagi Perusahaan dan Korporasi untuk mengekploitasi Tenaga Kerja, jika disahkan RUU ini bisa membahayakan hak-hak Pekerja. Secara Substansi, RUU Cipta Kerja tidak sesuai dengan Standar HAM Internasional.

RUU tersebut dapat merampas hak Pekerja atas kondisi kerja yang adil dan menyenangkan. Kondisi tersebut termasuk upah yang adil, upah yang sama untuk beban kerja yang sama, lingkungan kerja yang aman dan sehat, pembatasan jam kerja yang wajar, perlindungan bagi pekerja selama dan setelah masa kehamilan, dan persamaan perlakuan dalam lingkungan kerja.

Dalam RUU Cipta Kerja, Tingkat Inflasi tidak lagi menjadi pertimbangan dalam menetapkan Upah Minimum, RUU ini juga akan mengahapus Upah Minimum Kota (UMK). Hal ini dapat menyebabkan pengenaan upah minimum yang dipukul rata disemua Kota dan Kabupaten, terlepas dari perbedaan biaya hidup setiap Daerah. Ketentuan ini otomatis akan menurunkan tingkat upah minimum, konsekuensinya banyak pekerja yang tidak lagi cukup untuk menutupi biaya hidup harian mereka. Hak mereka atas Standar hidup yang layak akan terdampak, tentunya situasi ini bertentangan dengan HAM Internasional.

RUU Cipta Kerja juga akan menghapuskan batas waktu maksimal untuk pekerja kontrak serta aturan yang mewajibkan sistem pengangkatan otomatis dari pekerja kontrak sementara ke status Pegawai tetap. Ketentuan baru ini akan memberikan kekuasaan pada Pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak sementara untuk jangka waktu tak terbatas.

Perusahaan tidak lagi berkewajiban mengangkat pekerja kontrak menjadi Pegawai tetap. Aturan seperti ini berpotensi menyebabkan perlakuan tidak adil bagi para Pekerja karena mereka akan terus-menerus menjadi Pegawai tidak tetap, sehingga seterusnya mereka tidak mendapat perlindungan yang memadai, termasuk pensiun, cuti tahunan selama 12 hari (untuk Pekerja sementara yang bekerja dibawah satu tahun), dan kompensasi untuk pemutusan hubungan kerja. Ini merupakan kemunduran dari Undang-undang yang ada, dan lagi-lagi bertentangan dengan Standar HAM Internasional.

Selain Substansinya yang dinilai bakal lebih banyak merugikan masyarakat, pembahasannya yang dikebut dimasa pandemi juga memunculkan asumsi bahwa RUU ini sengaja dibuat hanya demi memuluskan kepentingan segelintir pihak saja. RUU Cipta Kerja akan memfasilitasi kepentingan Monopoli Ekonomi Korporasi Oligarki yang dilegalkan dalam Undang-Undang Cipta Kerja, bukan mendorong memulihkan Ekonomi Nasional. Sementara dalam prosesnya, penyusunan Omnibus RUU Cipta Kerja tidak terbuka dan transparan, ini berarti tidak ada interaksi yang jujur. (Tantowi)

Tidak ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

DIGITAL RI EDISI 259

DIGITAL RI EDISI 258

DIGITAL RI EDISI 257

DIGITAL RI EDISI 256

DIGITAL RI EDISI 254

DIGITAL RI EDISI 255

x
x